Perempuan Yang Besar Hatinya

Kepada perempuan yang besar hatinya.

Hari-hari di Bulan Februari ini kuyakin adalah bulan paling melelahkan bagimu. Ia seperti pintu gerbang dari sebuah labirin panjang yang kamu jalani. Pada akhir langkah yang berputar-putar seakan tak ada habisnya, kamu tak bisa membuka gemboknya begitu saja. Ia masih menyisakan ujian yang tidak mudah untuk mendapatkan kunci. Bagaimana kabar isi kepalamu sekarang?

Tenang, esok lusa kamu hanya tinggal bersantai dan menunggu kunci itu sampai padamu.

Pada kebingungan yang terasa pekat di dalam labirin, Tuhan menghadiahkan kamu padaku. Tuhan Maha Baik, ia memberi seseorang yang bisa menjadi cahaya untukku. Seseorang yang begitu cantik, hingga aku bisa melihat cahaya berpendar dari tubuhnya. Cantik hingga tak sedikit pria bertekuk lutut. Tapi aku pun takluk, pada kecantikan hatinya yang teramat sangat. Donabella, terima kasih untuk ada pada gelapnya hidupku.

Bella, aku berulang kali merasa takjub. Di dalam kepalamu, kamu menciptakan pemikiran-pemikiran serupa cendikiawan, menyimpulkan perihal dari sudut berbeda. Tak jarang, kamu berhasil menggiring opsi dari sesuatu yang tampaknya buruk rupa, menjadi serupa berlian. Menyingkap bahwa kejadian selalu memberi dua permukaan koin, aku hanyalah perlu membuka mata untuk melihat yang tertutup di balik koin.

Di telapak tanganmu yang terbuka lebar-lebar, kamu tak segan berbagi. Aku kagum, kamu bisa saja menutup matamu dan berlagak tak acuh. Kamu bisa saja melipat tanganmu di dada dan tak menghiraukan sekitarmu. Namun nyatanya, kamu tak pernah berhenti menghargai bagaimana perasaan orang lain. Kamu menghujani sekelilingmu dengan kebaikan. Sudah berapa kali aku menerima kebaikanmu sementara aku tidak mampu menawarkan apa-apa padamu?

Mereka bilang, berhati-hatilah padaku, karena aku bisa saja memanfaatkanmu. Mungkin itu benar, Bella. Aku memanfaatkan kebaikanmu untuk diriku. Untuk menjadi matahari kala hatiku dirundung awan kelabu. Untuk menggenggam tanganku dan berbalik mencari jalan lain, saat labirin yang kita tapaki menemui jalan buntu. Untuk menjadi tangan yang merengkuh, kala kutahu aku akan jatuh. Apakah aku jahat, Bella?

Maaf, Bella, karena aku membutuhkanmu.

Bella, besok lusa kamu ujian kan? Tuhan Maha Besar dan Ia mengetahui hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya. Kamu sudah berdoa pada-Nya. Aku tahu, Tuhan bersamamu dan akan membantumu mendapatkan kunci gembok pintu gerbang yang kamu nanti. Karena seperti katamu yang selalu terpatri dalam pikiranku,

“Doa itu penting. Kamu bisa saja bercerita padaku, tapi aku hanya bisa memberi saran seperti ini. Berdoalah, dan hasilnya pasti akan berbeda. Ada tangan Tuhan yang bekerja membantumu menyelesaikan semua ini dengan cara Dia yang tidak terduga.”

Akhir kata, terima kasih sudah hadir di hidupku. Aku sayang kamu.

Have a nice day, good luck UKDI OSCE-nya. Doaku bersamamu.

.

Salam hangat,
Teman yang selalu mendukungmu

.

ditulis untuk 30 Hari Menulis Surat Cinta hari ke-30, untuk @belleabell 🙂

Doa yang Realistis

: Teruntuk seorang wanita yang berjuang tiap harinya untukku.

“Doakan aku ya, ma. Biar aku bisa beli semua ini pake uang aku sendiri kalau aku udah kerja.”
“Iya. Mama doain kamu bisa mendapatkan apa yang nggak bisa mama kasih ke kamu sekarang.”

Apa mama ingat percakapan ini? Saat itu, aku ingin menggenggam tangan mama, namun jemariku nyatanya hanya saling meremas. Aku ingin berkilah, bahwa apa yang mama berikan padaku sampai detik ini, sudah melampaui dari cukup. Sudah jauh dari apa yang aku harapkan. Sudah lebih dari apa yang dapat dimiliki anak-anak lain. Tapi lidahku sepertinya melarikan diri, hingga aku hanyalah bungkam di samping mama.

Mama tentu tahu beberapa perihal yang menjadi motivasiku belajar keras sampai saat ini. Untuk bekal mencari uang. Untuk membeli apa yang bisa dibeli dengan uang. Untuk memenuhi kebutuhanku dan keinginanku dengan hasil keringatku sendiri.

Ya, ma. Mungkin ini terdengar materialistik. Tapi aku hanya wanita yang realistik. Aku bukan wanita yang mengharapkan pria menafkahi. Sebaliknya, aku ingin membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpa perlu berpangku tangan pada gaji lelaki.

Kala saat itu tiba, aku ingin mencari uang untuk membahagiakan mama seperti mama membahagiakanku. Untuk membeli barang yang mama butuhkan, namun urung karena biaya sekolahku. Untuk memenuhi keinginan-keinginan mama, yang mama pendam karena uang sakuku.

Doakan, ya ma.

.

: Dari anak perempuanmu yang (katamu) berkepribadian lelaki.

Everything Happen for a Reason

Kepada kamu yang menyebutku Little dandelion,

Sudah dari awal aku ingin mengirimkan surat ini padamu. Namun urung, otakku sepertinya lumpuh di kalimat pembuka. Tak pernah berbeda di tiap tahun, setiap aku hendak menulis surat kepadamu. Tak pernah berbeda, seperti kita yang tak mengenal halo dan selamat jalan.

Tapi aku ingin menulis, untuk mengingat bagaimana kamu datang. Aku ingin menulis, untuk membalas surat beramplop coklat yang dititipkan di pos satpam sekolah. Aku ingin menulis, untuk mengutarakan alasan yang baru kutemukan.

Kamu mengetuk hidupku dengan sepucuk surat tanpa pengirim, hanya tertera simbol persegi dengan empat warna di amplopnya. Logo yang kamu desain sendiri untuk mengenali bahwa itu kamu.

Kala itu hatiku tak utuh, maka kamu membantuku menemukan serpihannya. Bukan waktu yang singkat, namun kamu tak pernah absen di sampingku. Kamu merekatkannya kembali, hanya untuk menemukan aku lagi-lagi jatuh dalam lubang yang sama. Lantas kamu meraih tanganku (lagi). Menjadi tongkat bagi jiwaku yang lumpuh. Kamu tentu ingat, mengapa aku menamakan diriku dandelion enam tahun lalu? Karena aku menanti seseorang yang kusebut angin, maka kamu tersenyum dan menyebut dirimu Big Dandelion. Agar aku tidak merasa sendiri dalam menunggu.

Everything happen for a reason, Big. Aku sepertinya tak kunjung pintar. Aku baru menemukan alasan-alasan yang nyaris tak pernah berhenti berputar dalam otakku. Alasan kita ditakdirkan bersinggungan dan berjalan bersama pada satu masa.

Kamu datang untuk mengajarkanku bagaimana berdamai dengan kehidupan. Jika hidup tidak dapat memberiku apa yang aku inginkan, maka aku harus meyakini, bahwa hidup akan memberiku apa yang aku butuhkan. Aku hanya harus bersabar dan percaya.

Kamu datang untuk memaksaku kuat. Pada kerasnya kenyataan, kamu menyeka air mata, dan mengajarkanku tertawa. Menertawakan ironi yang tidak perlu ditangisi. Meyakini bahwa jangan takut pada sederas apapun hujan yang datang, sebab kita hanya perlu membuka payung dan menerjangnya.

Kamu datang untuk mengajakku berpindah. Karena kaki tak boleh berputar di area yang sama. Langkah haruslah menjejak tempat yang belum pernah terjamah. Pun cerita tak melulu tentang kisah lama.

Everything happen for a reason. Hatiku tak pernah utuh sejak kamu menemukanku. Pun, hati itu masih saja tercuri, tak lagi bersamaku. Sialnya, pria itu membawanya lantas menghancurkannya di depanku. Aku bahkan bisa melihat remahnya di ujung kakiku.

Sayangnya, kamu tak lagi di sini, Big, Tak lagi bersamaku dan menawarkan pundak tempatku bernaung. Tak ada uluran tangan yang membantuku mengumpulkannya. Bahkan aku tak pernah tahu kabarmu. Tapi kau harus tahu, aku bukanlah wanita yang sama seperti ketika kamu menemukanku. Aku dapat berdiri tegak hingga hari ini, tanpa kamu.

Namun percayalah, ini karena kamu dan apa yang kamu ajarkan padaku.

Everything happen for a reason, Big. Maka, tersenyumlah kala membaca surat ini. Sama seperti aku tersenyum kala menulisnya.

Have a nice day. Don’t forget to bring umbrella before rain.

.

Regard,
Little dandelion.

.

Note: ditulis untuk 30 Hari Menulis Surat Cinta Hari ke 24

Air Mata yang Akhirnya Jatuh

Pasuruan, 17 Februari 2015
Kepada pria yang benci melihatku menangis,

.

Papa, aku bertemu dengan seorang pria. Papa sudah mengenalnya sejak lama, jika aku tidak salah ingat, mungkin sekitar delapan tahun yang lalu. Waktu itu ia sering ke rumah selepas sekolah, masih mengenakan seragam putih-abu-abu. Ketika itu, papa hanya tersenyum jika disapanya.

Enam tahun berselang, kami bertemu kembali dan mengukir kasih. Aku pikir, papa akan suka padanya. Toh ia bukan orang yang baru. Bukan begitu, papa?

Continue reading

Hal-Hal Kecil Berarti Besar

Dear soulmate[1],

Sudah belajar apa hari ini? Sudah siap untuk ujiannya? Bagaimana rasanya hari-hari mendekati ujian kelulusan? Grogi? Tidak sabar? Atau ingin cepat-cepat selesai supaya bisa pulang kampung?

Mungkin opsi yang terakhir, ya.

Sudah satu tahun setengah tahun kita bersama, lho, soulmate. Satu setengah tahun! Apakah kamu menyangka? Bagaimana rasanya bersamaku satu setengah tahun bersamaku? Menyenangkan? Sudah kutebak, jawabannya tidak. Iya kan?

Continue reading

Yang Dihindari

Malang, 6 Februari 2015
Untuk segala yang belum bisa saya hadapi.

Seorang kawan bertanya, apa saya jadi ikut ke Jogjakarta bulan depan untuk mengikuti seminar di salah satu universitas di sana. Sejatinya, dua minggu sebelum ia bertanya hari ini, saya telah mengiyakan tawarannya. Namun malam ini saya meragu. Jadi, ketika ia bertanya apa saya sudah membayar, saya bilang belum.

Ia mengernyit bingung. Agaknya, saya terlihat plin plan di hadapannya. Saya bilang, saya masih memikirkannya. Mungkin baru akan saya putuskan jika jadwalnya sudah dekat.

Kami terdiam.

Continue reading

Cerita Sebelum Tidur

: teruntuk pria dalam kenangan pengantar tidur.

Jadi, aku ingin membocorkan satu rahasia padamu, kawan. Tentang pria dalam kenanganku yang selalu berhasil menemaniku terlelap. Sebentar– sebenarnya, ini bukan tentang seorang pria, dan kenangan ini bukan tentang cinta. Ini semacam tentang bagaimana satu potongan ingatan tak pernah gagal membunuh nyalang mataku.

Apa? Jangan coba-coba menebak siapa pria itu, karena aku belum bercerita.
Continue reading