Ambang

Seberapa besar jarak antara hidup dan mati?

Tanyakan pada bocah di depan rumahku. Ia sering berlari keluar pagar di nyaris pergantian hari dan menatap langit. Beratuhlah denganku, dia akan berceracau, setinggi kaki mungilnya berpijak dan hitam yang membentang. Diantara jutaan bintang yang tercecer, dia akan menunjuk satu. Entah yang mana, tiap malam selalu berbeda, dan tersenyum. Kadang ada genangan air di pelupuknya. “Ibuku di sana,” ucapnya.

Atau tanyakan pada seorang pria renta yang baru saja mengunjungi pemakaman. Mungkin, ia akan menjawab, antara tanah gembur tempatnya berjongkok, dan peti yang menyelaput istrinya. Entah di gundukan yang mana belahan jiwanya terlelap, sejujurnya aku tak yakin lelaki pikun itu ingat. Kadang ia berada di paling ujung belakang, namun lebih sering di areal timur makam. Agaknya, ia gagal menarik memorinya. Pun, dia tak bisa mengeja nama yang terpahat di kepala makam. “Sampai kapan kita berpisah?” rintihnya samar-samar.

Bagiku, dan mungkin orang di hadapanku, hidup dan mati hanya setipis garis benang tak kasat mata. Nyaris tak terlihat, seringkali terlewat.

No pulse!” sahut seorang perawat kala menyentuh nadi di leher wanita jompo di depanku. Sementara aku menatap elektrokardiogram dengan gambaran detak jantung melemah sembari terus memompa ambu bag[1]. Pasien itu telah henti nafas semenjak satu jam lalu, semenjak tanganku nyaris kram karena terus meremas kantong udaranya, memberi bantuan nafas secara manual.

Dokter Wid, seniorku hanya menganggukkan kepala. Pun perawat itu paham, ia mengambil posisi dan memompa dada dengan hitungan penuh presisi. Bergantian dengan Dokter Widyo, tindakannya terhitung beberapa siklus, tak berjeda, dengan aku yang masih terus memompa ambu bag.

Detik-detik tak lagi terabaikan, ia bagaikan bom waktu. Setiap detaknya kian menegangkan. Arusnya mempertaruhkan segalanya. Peluh yang tak segan mengucur, uang yang tak henti mengalir.

Jiwa yang tersendat. Segan akan ke arah mana.

Aku pernah tahu, pada satu ambang batas, ingatan manusia akan kembali terputar. Mungkin tak ubahnya televisi lawas yang berputar monokrom. Mengingat segala yang dilewatinya. Pertanyaannya kemudian adalah, seberapa banyak kebaikan yang kamu lakukan? Amal apa yang pernah kamu berikan?

Kejahatan apa yang pernah kamu perbuat?

Bagaimana hidupmu kamu habiskan?

Mungkin, dalam alam bawah sadar, pasien itu mulai berhitung.

VT[2]!” perawat yang sama, menyahut kala melihat garis spike berkepanjangan di elektrokardiogram.

DC shock[3] sekarang!” dokter Ongko menyahut. Dokter Wid mengambil sepasang alat pacu jantung, sementara dokter yang lain mengatur voltase yang akan diberikan.

Nature is not human-hearted. Siapa tahu, beberapa jam lalu kamu masih menikmati segelas teh hangat dan sepiring bebek panggang di kantin belakang, dan malam ini kamu terbaring dengan berbagai selang terpasang di tubuhmu, dengan kabel menempel di kulitmu. Dan kamu akan merasakan setipis apa sesungguhnya perbedaan itu.

“200 volt?”

“Oke!”

“Clear?”

“Clear!”

Alat pacu jantung itu menempel di dada pasien, mengirimkan tegangan listrik langsung menuju jantungnya, memicunya untuk berdetak.

Sementara kami memacu adrenalin, dimana jiwa pasien itu berada? Mungkin ia sedang berada di satu padang, jauh dari tubuhnya. Lantas berusaha berlari dari satu garis yang telah tercetak imajiner, kembali menuju raganya.

Mungkin di satu titik di mana semua dipertaruhkan, ia mulai melangkah. Kembali kepada kami, atau menuju kepada-Nya.

“Masih VT dok!”

“Ulangi DC shock!

Lantas, selagi aku masih berdiri di sampingnya, menatap ibu tua itu berjuang untuk hidup. Dengan dokter-dokter mengaplikasikan segala ilmunya, bertanyalah pada dirimu.

Seberapa besar jarak antara hidup dan mati?

Karena sekali lagi, kukatakan padamu, jaraknya tak lebih tebal dari benang tak kasat mata.

Dan beliau, melewatinya.

Life as if you were to die tomorrow. Learn as if you were to life forever.

 


[1] Alat resusitasi manual untuk memberikan nafas buatan.

[2] Ventricular tachycardia. Keadaan dimana jantung hanya bergetar tapi tak memompa darah.

[3] Alat pacu jantung, err… biasa kamu liat di sinetron picisan, yang ditempelin ke pasien terus dadanya bergejolak sampai kasurnya ikutan gerak-gerak.

Note: I know it’s bad post. Just say it. Even I don’t know why I made it.

18 thoughts on “Ambang

  1. Ini kereeen.
    Aku nyesek bacanya, berasa jadi saksi peristiwa yang digambarkan di cerita ini.
    Dan quote-nya juga bagus banget, “hiduplah seakan-akan engkau mati esok, belajarlah seakan-akan engkau hidup selamanya”

.:: Leave a Note ::.