Walk Away

image

Ji terdiam di depan pintu apartemen lantai dua puluh satu dengan menenteng dua gelas kopi panas. Ia sudah berdiri sejak beberapa menit setelah bel kesepuluh —kalau ia tidak salah mengingat— ditekannya. Namun tidak ada derap atau tanda-tanda seseorang mendekat dan mempersilakannya masuk. Sejatinya ia tahu percuma saja menunggu di sini, tapi toh ia tetap melakukannya.

Ia menghela napas panjang. Lantas telunjuknya menekan beberapa tombol di bawah gagang pintunya sembari berharap yang ditekannya adalah pin yang benar.

Kunci pintu otomatis terbuka hanya selang satu detik dari nomor terakhir yang ia pencet. Ji tersenyum kecil, pun itu terasa getir. Dari segala yang berubah selama dua tahun ini, rangkaian nomor pin pintu di depannya adalah satu hal yang tidak berubah.

Ji memutar kenop pintu dan mendorong pelan. Deriknya nyaris tak terdengar. Kondominium ini terasa asing, meski ini bukan pertama kalinya ia menjejakkan kaki di sini. Dua tahun sepertinya membuatnya hampir tak mengenal apapun di dalamnya.

Ia berjalan lamat-lamat menuju kamar utama, membuka pintunya perlahan. Ia sungguh berharap tak orang di dalam. Sayangnya, ia tahu pikirannya sedang mencoba berilusi. Wanita itu nyatanya masih nyenyak bergelung di atas selimut hanya dengan sepasang pakaian dalam.

Iris cokelatnya berputar ke sekeliling ruangan. Dress merah emas dengan taburan Swarovski —Alexander McQueen koleksi terbaru kalau ia tidak salah menebak— dan stiletto Louboutine lima belas senti warna merah kesayangannya terserak di lantai. Pun dengan clutch emas yang entah bagaimana berada di bawah meja tidur. Satu sudut bibirnya berjungkit. Hanya satu hal yang bisa membuat wanita yang gila kebersihan itu pikun dengan kebiasaannya, yaitu mabuk. Satu barang yang tidak ditemukannya di kamar ini, koper yang seharusnya sudah siap dijinjing.

Ji meletakkan kopi yang dibawanya di meja samping ranjang. Matanya terkunci pada secarik tiket pesawat yang terlipat rapi di sebelah lampu tidur. Ia membuka lipatanya dan sontak menggigit bibir bawahnya. Sungguh, ia berusaha tidak meremas kertas itu, seperti pukul yang tertera di sana meremas hatinya. Jam enam pagi penerbangan ke Seoul, sementara sekarang sudah nyaris pukul sepuluh. Ia lantas menutup kembali kertas tiket —yang ia sesali mengapa ia membacanya— dan meletakkan kembali di tempatnya semula.

Wanita di atas ranjang king size itu menggeliat sejenak, namun masih nyaman di antara mimpi-mimpinya. Ji tersenyum tipis. Ia melangkah menuju gorden yang menghadap ranjang dan membukanya lebar-lebar. Jendela yang nyaris menutup satu sisi kamar itu menghamburkan segenap riap cahaya, memenuhi sudut ruangan. Tubuh bugar yang terlelap itu tampak semakin jelas lekuk indahnya. Perut rata dengan lengan dan paha yang kencang. Ia melenguh pelan, membenamkan wajahnya di dalam selimut. “Eurgh… Xin? Kamu belum berangkat? Tutup gordennya. You know I hate it…”

Ji tertawa kecil. Ia telah keluar menuju balkon di balik jendela, bersandar pada pelipirnya sembari memperhatikan wanita itu mengulet. Sesekali ia menyesap kopi panasnya. “Morning, Rin.”

Mata kecil Rin kontak membeliak. Kantuknya pecah. Telinganya nampaknya sedang emainkan lelucon. Ia bangkit dari ranjang dan apa yang dilihatnya seperti ingin menyuruhnya menuju psikiater terdekat. “Ji?!”

Ji melambaikan tangan santai.

Oh my God! Jaras-jaras di otak Rin tak mampu menyatukan pikiran. Ia gagal menyimpulkan apapun. Bahkan mengolah kata saja sepertinya tugas yang mustahil untuk kepalanya saat ini. “Kenapa? Kenapa kamu di sini? Bagaimana kamu bisa masuk?“

Kitty, sebaiknya kamu mengubah pin apartemenmu,” saran Ji berbonus kerlingan mata.

Sepertinya ada petir yang menyambar tepat di ubun kepala. Rin menenggelamkan wajah di antara dua tangannya. Nyatanya penyesalan selalu berdiri di garis terakhir. Seharusnya ia mengikuti saran Xin —stylist yang tinggal satu kondo dengannya— sejak berbulan-bulan sebelumnya. Meninggalkan masa lalu seharusnya lengkap dengan hal terkecil, misalnya rangkaian pin 8888 yang ia buat tiga tahun lalu.

“Kenapa kamu kemari, Ji?” tanyanya dengan suara serak yang menjadi ciri khasnya, sambil mengurai rambut pirangnya yang berantakan.

Alih-alih menanggapi pertanyaan Rin, pria itu menunjuk gelas di samping ranjang Rin. “Itu kopimu dari kedai favoritmu di ujung jalan.” Rin melirik sekerjap dan mengernyitkan dahi. Ia baru saja akan membuka mulut kala Ji melanjutkan kalimatnya, “Kata Xin.”

Rin tak lagi bertanya. Xin memang mirip air selokan, mulutnya berkoar ke mana-mana. Ia memilih mengambil kopinya dan turun dari ranjang. Langkahnya berhenti di depan cermin di ujung kamar, tepat di samping pintu balkon. Rasanya ngeri melihat pantulan wajahnya di sana, lebih-lebih eyeliner dan maskaranya yang membalur ke sekitar mata. “Oh God, I look horrible.”

Ji terkekeh. “Partygoer again?”

I am not, Ji. I just doconnecting’,” kilah Rin sembari menyapukan kapas yang basah oleh makeup remover ke sekeliling wajah. “You know, you need connection to reach the top.

And being drunk?”

Rin mendengus. “Kamu tahu Jeremy tidak akan membiarkanku pulang dari Fashion Week-nya tanpa melewatkan after party.”

Ji mengamini diam-diam. Ia memilih untuk melongok ke bawah. Keramaian New York pagi hari nampak begitu mungil dan nyaris tak terlihat dari tempatnya berdiri. Manusia yang berlalu lalang hanyalah sebesar kerumunan semut, sementara mobil-mobil tak lebih seukuran balok-balok mainan. New York memang tak pernah tidur.

“Jadi, kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujar Rin. Ji mengalihkan pandangan menuju sang wanita. Rambut pirangnya jatuh menutup wajah, sementara ia sibuk mengenakan hot pants-nya. Alih-alih mencari kaus, ia membiarkan dadanya hanya dengan bra.

Dua alis Ji menyatu bingung.

Rin duduk di kursi balkon dan meminum kopinya hingga nyaris tandas. “Kenapa kamu kemari?”

“Err… Berkunjung,” jawab Ji, tertawa canggung menunjukan deretan giginya yang rapi.

Rin menaikkan sebelah alis tak percaya. Alasan itu benar-benar hal paling konyol yang Rin dengar dari bibir Ji. Alasan itu adalah pilihan kesekian dari sejuta kilah yang mungkin bisa ia utarakan.

Oh come on, Rin. That’s true. Aku tahu kamu tidak akan pulang ke Korea,” Ji berargumen gusar. Ia dapat melihat mimik keheranan Rin. “I know it. Lagipula aku melihat tiketmu.”

Fuck,” Rin mendesis jengkel. Ia membenci bagaimana Ji mengetahui apa yang ia idak ingin pria itu tahu. Mungkin ia terlalu mudah ditebak, atau Ji yang memang sudah terlalu mengenalnya. Rin terdiam sejenak. Jemarinya menari di atas layar smartphone-nya. Membuka bergantian browser dan aplikasi chat. Pencet sana, pencet sini hingga akhirnya ia mengunci kembali ponselnya. “Tapi calon mempelai tidak akan ke luar negeri H minus satu pernikahannya, Ji.”

Ji terdiam beberapa saat. Ia terpaku, seakan ucapan Rin membekukan sekujur tubuhnya. Ia menghela napas panjang. “I miss you, Rin.”

Rin mendengkus dan memutar bola matanya. “Like I’ll believe you.”

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

Rin mengangkat bahu. “Just because.”

Just because everyone changes, pikirnya. Ji tidak melihatnya dengan cara yang sama.

“Aku tidak berubah, Rin,” balas Ji separuh bercanda. Sayangnya tidak ada yang bisa ditertawakan. Ji menghela napas dan meremas gelas kartonnya hingga remuk. Ia menata pikirannya yang tetiba kalut. “Kita semakin dewasa, dan ketika orang semakin dewasa, beberapa hal akan berubah, dan kita tidak akan punya waktu seperti yang kita punya saat kita muda. We walk in our separate ways, dan kamu terlihat baik-baik saja tanpa adanya aku. But, I do miss you a lot.”

Rin menggigit bibirnya. Menata hati yang redam oleh situasi ini. Tuturan Ji jelas tak sesuai. Ji tak tahu apapun. Ia sungguh tidak pernah baik-baik saja.

“Apa minggu ini kamu sibuk sekali, Rin?” tanya Ji. “Pulanglah ke Seoul. Pernikahanku, kamu mau datang, kan?”

Rin menghembuskan napas, memijit pelipisnya. “Really, are you that idiot?” gumamnya lirih. Separuh ditujukan untuk dirinya sendiri.

“Maksudmu?”

“Ji…” Rin menarik napas. Jemarinya mencengkam lengan kursi kuat-kuat, bergulat dengan emosi yang beraduk dalam dirinya. Ia menatap Ji tajam dan mencerca, “Kamu tahu kenapa aku memilih pindah ke NY kan?”

Karena berada dalam satu kota yang sama dengan pria itu seperti membiarkan dirinya melupa bahwa ia masih punya otak. Hatinya terlampau berkuasa atas apa yang matanya perlihatkan. Ji dengan tunangannya.

Ji mengangguk, menggigit bibirnya.

“Pin itu, Ji, kamu tahu kenapa kamu bisa masuk ke apartemen ini, kan?” tanyanya lagi. Pin yang ia beri alasan bahwa angka delapan adalah angka keberuntungan, sementara semua orang di seluruh dunia tahu bahwa delapan adalah angka yang terlahir untuk Ji.

Ji menatapnya memohon. Berharap Rin mengakhiri pembicaraan ini.

Rin berdiri dari kursinya. Bola matanya berkaca-kaca. “Kamu tahu kenapa aku tidak ingin pulang ke Seoul hari ini, kan?”

Ji terdiam. Pias sudah raut mukanya. Ia tak tahu harus seperti apa menjawab pertanyaan Rin.

Serbuan air mata jatuh dari sepasang mata kucing Rin. “And the last, Ji. You know I fuckin love you, right?”

Ji membiarkan napas dalam masuk dalam peparunya. “Sorry, Rin…”

“Fuck you, Ji,” desis Rin, penuh kebencian. Ji nyaris tak mengenalnya. Ia tak pernah melihat Rin menatapnya seperti itu. Rin separuh berlari keluar balkon dan menyambar coat merah panjangnya. “Apa yang kamu harapkan? Aku datang ke pernikahanmu? You’re the cruelest man I ever know, Ji.”

“Rin! Dengarkan aku! Rin!”

TING TONG!

Bel apartemennya berbunyi. Mereka membeku beberapa saat, Rin memejamkan mata dan mengatur napasnya yang berpacu. Satu demi satu, sama panjang. “Pulanglah, Ji.”

What?”

Rin menunjukkan layar ponselnya. Tab browser menampilkan pemesanan tiket salah satu maskapai yang dibukanya. “Aku sudah membelikanmu tiket. Berangkat sekitar—“ Rin berhenti, dan melirik jam di dinding kamar. Ia melanjutkan, “Dua jam lagi. Mae, manajerku, sudah mencetaknya.”

TING TONG TING TONG!

Rin mengenakan coat-nya tergesa. Ia mengaitkan semua kancingnya, menutup tubuhnya yang hanya memakai bra. Ponselnya yang sejak tadi bergetar diangkatnya separuh jengkel. “Iya, Mae. Come in. Ji butuh tiketnya—” Matanya berputar menatap Ji tajam. “Sekarang.”

Ji tercengang. Semua ini berlangsung terlalu cepat dan ia merasa terlalu lamban mencerna. Ada banyak hal yang ada di dalam benaknya sepanjang perjalanan ke apartemen ini, namun Rin mengirimnya kembali seperti ini tidak pernah terlintas di pikirannya.

Rin sudah menatapnya nanar dari luar kamar. Pada kaca tipis yang melapisi mata Rin pagi itu, Ji mengenalnya. Ia terakhir kali melihatnya kala ia mengantar Rin ke bandara tiga tahun lalu bersama Ky, tunangannya. Saat itu, ia tidak paham makna di baliknya. Namun hari ini, ketika tatapan itu menghujamnya, ia tak ingin melihatnya.

Congratulation for your wedding, Ji. Be happy.”

.

I don’t want a new meeting for some reason
I still hate you a lot
A meeting that was like destiny
and now became like strangers
You left and your scent is still around
We used to be all turnt up
We became further apart
You said it wasn’t true but just wait
Love is reversal
(2NE1 – Gotta Be You)

.

Footnote :

  1. Hallo. for you that maybe feel similiarity scene with Before The Worst, it’s okay. Keduanya memang beraasl dari satu ide. Sayangnya fiksi ini sulit untuk saya tulis, sehingga ide beranak pinak mnjadi tulisan lain.
  2. I wish that’s the last time I write Ji-Rin in this kind story. Mungkin saya harus mencari pasangan baru untuk Rin. :p Bcs Ji already found my happiness, so Rin need to find one too. 🙂
  3. I wrote oh-not-so-short-epilog for this story, called Yang Tidak TerlihatWell, maybe you want to read it too, or not. :p
  4. I always open for criticism, please be harsh.
  5. Enjoy your day!

16 thoughts on “Walk Away

  1. yaaps.. semacam before the worts.. kalau ceritanya lebih suka yang before the worst.. tapi lebih suka yang ini ding.. soalnya yang ini bukan gay kan kan kan….

    • Halo.
      iya kaann, mirip kaann. Tapi ya gimana, emang before the worst idenya juga sebenarnya dari sini. Uhuhuhu.
      hayo hayooo… lebih suka yang mana? Haha.
      thanks sudah membaca. 😚😚

  2. Pingback: Apa yang Tidak Terlihat | dandelion notes

    • Halo kak. Rapuh, tapi sok kuat. Sifat Rin kan emang keras kepala gitu yess. Walo udah sejelek2nya keadaan dia gak mau nunjukin gitu. Betek sendiri liat Ji gak peka gituh. Haha.
      Thankies sudah membaca. 🙂

  3. KAK ADIEEZZ KENAPA INI GALAU BANGEEET;_; aku lagi dengerin lagu mellow juga lagi duh sialan. Aku hanyut sehanyut-hanyutnya. Sampai tadi ada yang mau aku tanyain terus aku lupa apa. HUHUU GOOD JOB! As always! Terima kasih buat tagnya, kakk! Maaf baru bisa mampir sekarangg<3

    xx

    • Nganuh. Gatau nih, semakin lama nunda nulis semakin galo deh ceritanya di otakku. Haha..
      ayoo, kamu mau nanya apa, dear? Udah inget? Hehe.
      thanks ya sudah membaca. 😘😘

  4. Heol!
    What a cruelest man ever! Teganya Ji…
    Anyway aku bahkan belum baca yang before the wort atau sudah yak. Mungkin aku lupa. Duh kaa Adiez ini kok sedih banget, Rin kudu nemu tambatan hati baru. Kudu banget

    • Halo uril~
      iya tuh si Ji, sok gak tau, sok nanya2 gitu. 😡😡
      Rin harus muvonn. Huhuhu.. 😥
      udah dear, kamu udah baca yg Before The Worst. Kamu udah ninggalin jejak. Itu lho, yg tentang yunjae ituuhh.
      Thanks sudah membaca. 😘😘😘

  5. Another infiknight yang berhenti membuat cerita mereka. Aku juga udah selesai sama cerita mereka..

    Hopefully ji bener2 bahagia sama ky dan rin segera menemukan pria yang baru. :’)

    Akuuu sediiihh diieezzz… T.T
    Thanks udah tag aku di twitter… Tag lagi ya~

    I love your diction… Really love it

    • Halo dear.
      well, maaf yaa. Ji and Rin always in my heart, but they aren’t belong each other. At least for now. Mungkin suatu saat aku bikin lagi. Hehe.
      aku belum nemu nama yg tepat sebagai pasangannya Rin nih by the way. 😕😕
      cup cuuppp. Jangan sediiihhh.
      Akoohh orangnya plinplan kok, yakali ntar tiba2 aku nulis Ji Rin lagi. Hehe.
      thankies sudah membaca. 😚😚😚

  6. Makasih, Dis, sudah tag aku. Aku sudah baca beberapa waktu lalu, tapi belum konsen, jadi baru baca lagi sekarang.
    Aku suka ceritanya..hmm, apa, ya? Wajar dan realistis. Keputusan yang diambil Rin juga masuk akal. Dia bisa mempertahankan keputusannya untuk tidak bersama Ji lagi, yang, meskipun rasanya sakit, tetapi, kurasa itu pilihan terbaik buat mereka berdua.
    Aku cuma menemukan dua typo, selebihnya nggak ada masalah.

    • Halo amy. 🙂
      Sometimes we need to listen our brain too, right. Apalagi dlm kasus slice of life yang menyebalkan ini. And yes, that’s the best for her, bcs she deserves much better man and love life.
      urgh, typo nya masih ada yess? Padahal udah aku proof beberapa kali lho.
      thanks for dropping, amy dear. 😚😚

  7. Halo Kak Adiiiis~ baru sempet mampir nih, hehe. Fiction ini emang Kak Adis banget. aku udah beberapa kali baca fiksi kaya gini tapi punya kakak tetep asik.
    JixRi! aku kok jadi suka couple itu sih gara2 liat stage mereka nyanyi The Leaders :”)
    Nice fiction kak :))

    • Halo helmy. 😀
      I still don’t understand, adis banget ini yg macam apa benernya. Iya sih, fiksi seperti ini sebenarnya cukup mainstream. But heartbreak moment always have much different sides.
      Duh, mereka memang tjujok to the max sih yess. Yahh, walau fakta Ji pcaran sama mbak Ky ndak bisa disingkirkan. Huks. 😥
      thanks for reading ya hel. 😘😘

Leave a reply to adiezrindra Cancel reply