Bonheur

Aku berbagi bahagia. Aku menyukai diriku.

Dentang cangkir bergesekan memulai hari. Bersamaan dengan gesekan seirama dari sapu-sapu para pelayan, dan gemerisik dari kain-kain di pemuka meja. Barista mulai menyalakan mesin dan meracik beberapa biji kopi. Pintu tersingkap dan aku telah resmi berjaja.

Krincing~!

Beberapa pengunjung memadati ruangku. Menunjuk beberapa gambar berjajar, lalu berceloteh satu sama lain. Sejurus kemudian, asap berkulai menawarkan aroma menyegarkan Espresso Romano. Dari oven, tercium malu-malu manis waffle. Pagi yang menyenangkan dari gelak beberapa wanita, dan setenang senyum mafhum pengunjung pria.

Setiap hari selalu ada kisah-kisah terselip. Ada air mata yang mengintip, namun kemudian seulas senyum terbersit. Selalu ada makna berdiam, mengeram diantara celoteh berbagai macam.

Setiap hari, aku akan selalu mengungkap tanya, siapa yang berkisah hari ini? Ah, memikirkannya saja aku bahagia.

Aku berbagi bahagia. Aku menyukai diriku.

Krinciingg~!

“Selamat datang di Bonheur Café!” sapa seorang pelayan di tempatku.

Pria itu datang lagi hari ini. Di pukul yang sama dengan hari kemarin, setengah jam sebelum jam makan siang dimulai. Begitu dengan hari sebelumnya, sebelumnya, pun sebelumnya. Dia tak melewatkan sehari pun tanpa mengunjungiku.

Mimiknya masam, meski personanya mengesankan. Bagaimana aku tidak berani berceloteh seperti itu? Dia berdandan perlente bak eksekutif muda, riap rambut yang tertata klimis. Lalu, duduk di kursi putih di ujung ruangan, sendiri. Alih-alih mendekati dan menawarkan secarik kertas menu, barista dengan cepat meracik double shot espresso dan pelayan menyelipkan satu cup chocolate muffin di atas panainya. Dia akan menghabiskan jam makan siangnya sambil memandang kosong cangkir, bergantian dengan kursi putih di depannya. Satu jam berlalu, dia pun beranjak. Cangkir akan tetap utuh pada tempatnya, dan tak tergeser seincipun. Begitu pula dengan muffin di sampingnya.

Selalu seperti itu.

Aku tidak mengerti mengapa dia menghabiskan kepingan dollar-nya hanya untuk satu set panai yang tak akan dia sentuh. Jika alasannya adalah bosan, mengapa dia terus memesan hal yang sama?

Kamu tahu, aku selalu merasa gagal jika melihat pria itu. Aku gagal memberinya bahagia, karena dia tetap mendurja.

Only the white chair that you sat in
Has your scent on it
You left leaving only a heartless silence
Waiting for you, this little café.[1]

Sayup-sayup melodi berdendang di penjuruku. Kutebak, hari ini pasti dia akan melakukan rutinitas yang serupa.

“Hey, kenapa kamu tidak meminumnya?” seorang wanita menghampirinya. Dia mengenakan coat coklat selutut dan menggerai rambut burgundy-nya.

Lelaki itu memalingkan kepalanya, memandangnya tak percaya. Wanita itu berjalan menuju kursi di depannya, diikuti dengan gerik mata sang lelaki, masih terkesiap.

“Hey, nanti minumanmu dingin…” ucap wanita itu sekali lagi, senyum di  bibirnya merekah, pun dengan dua croissant yang mengembang di dua matanya.

“Aku pikir kamu tidak akan pernah datang,” bisik lelaki itu pada akhirnya. “Aku tidak mau meminumnya tanpa kamu di depanku.”

Sang wanita tergelak. “Aku datang, dan kamu bisa menghabiskan minumanmu, Tuan.”

Hey, lelaki itu tersenyum! Dia meminum espresso-nya! Wow, wanita itu berhasil menyuruhnya. Hebat sekali dia! Seandainya aku bisa, aku akan menyorakinya dengan applause semalam suntuk!

Rasanya aku bahagia sekarang. Aku berhasil berbagi bahagia.

Asap yang mengular ke seluruh penghujung, sayup melodi yang mendayu, dan kicau riang para peminum. Aku benar-benar bahagia. Sama seperti halnya namaku, Bonheur.

Kebahagiaan.

Krincing~!

Rasanya aku ingin berteriak bersama sang pelayan sekarang.

“Selamat datang di Bonheur Café!”

.

note:
Aduh, ini gagal total. Tapi tak apalah. Namanya juga belajar. *memaafkan diri sendiri*
Semoga menikmati.


[1] Bigbang – Café

25 thoughts on “Bonheur

  1. Pengen ke kafe itu, takutnya udah tutup karena kemaleman… #PLAK 😆 Tulisan yang ini keren unn! Saya suka cara unn mainin (?) kata, nggak ngebosenin, nggak ngegombal, nggak monoton, nggak lebay, simpel pula! Aduuuuh… beneran ini daebak unn! tak kasih lima jempol deh… *sodorinjempol 😀

  2. wah, keren nih,..
    sngat m’nikmati baca nih ff,.. 🙂
    jd pengend k’cafe bonheur, mnikmati s’cangkir kopi,..
    eh, gk deng, pngend punya cafeny,..
    hahaha,..
    mnikmati smua ekspresi orang,..
    ckckck,..
    kl soal kata2ny ngk usah d’omngi lah, qm jagony,..
    hehehe,..
    d’tunggu karya lainny,..
    fighting,.. 🙂

  3. Aku emang gak semenganga pas baca ‘Buih’.
    Tapi, aku gak semenikmati ini dibanding pas baca ‘Buih’.
    Setiap fiksi kamu punya power sendiri-sendiri kok. Dan kamu gak usah hopeless karena belum bisa lagi bikin fiksi seperti jenis-jenis itu
    😀
    You’re awesome.

    • iya ya?
      tapi kadang aku pengen bikin yg setingkat buih. sebel aja gitu nggak bisa terpuaskan. ><
      makasih yaa.. ^^
      semoga kapan2 bisa bikin lagi yg seperti itu. 🙂
      mak
      asih nisa.. ^^

    • Hhii… Saya sering kok bikin cerita yg hampir sama. Disiasatinnya pake sudut pandang yg bagaimana, terus pake konflik yg seperti apa. Gitu2 deh kak. 🙂
      Makasih yaa… *ketjup basah* 🙂

  4. Pingback: Bonheur | Words of 'Poetica'

  5. Pingback: Asyik Menulis :) | lunastory

.:: Leave a Note ::.